Isu reshuffle di Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla yang kian kencang tampaknya menarik perhatian Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono. SBY pun mengingatkan jangan salah dalam mengambil keputusan.
Saran tersebut disampaikan SBY saat mengisi kelas Pelatihan Kader Partai Demokrat (PD) di Novotel Hotel, Bogor, Jumat (1/4/2016). Dalam materi dengan tema 'Tugas dan Fungsi Lembaga Kepresidenan', Ketum PD itu awalnya bercerita tentang pengalamannya membentuk kabinet pemerintahaan ketika menjabat sebagai presiden.
"Memilih menteri harus pas. Benar waktu pilpres banyak bergabung parpol koalisi. Benar juga ketika terpilih perwakilan parpol untuk menteri bergabung. Tapi keputusan sepenuhnya ada di presiden. Itu konstitusi," ungkap SBY.
SBY menyebut tidak ada salahnya jika ketua umum partai atau pihak tertentu memberi saran tentang siapa-siapa yang tepat mengisi pos menteri tertentu. Meski ada banyak saran, ia menegaskan bahwa keputusan tetap berada di tangan presiden.
"Dalam memilih kerap disebut ada fit and proper test, dulu kita nominasi menteri. Saya ajukan sejumlah pertanyaan, sebelum saya putuskan go atau no go. Termasuk tes kesehatan dan rekam jejak," kata presiden selama 10 tahun ini.
Usai proses itu, pimpinan negara perlu memperhatikan integritas dan keterwakilan kemajemukan ras. Semua disebut SBY harus dilakukan secara sistemik, sesuai konstitusi.
"Presiden harus pilih betul-betul, the right man and the right place. Presiden tidak boleh didikte. Bisa saja ada reshuffle. Tapi betul-betul dengan alasan kuat. Bisa integritas, performance atau kinerja. Bukan publik opini atau karena social media," tuturnya.
Memperhatikan opini publik dan isu di media sosial dikatakan SBY memang tidak ada salahnya. Namun untuk membuat keputusan, menurutnya itu harus dilakukan secara rasional. Bukan karena pengaruh pihak tertentu.
"Sepenuhnya di tangan presiden. Saya dulu pernah berantem dengan ketum parpol karena meminta, 'pak ini saja'. Saya katakan, hanya tentukan jatah sekian. Silakan nama-nama ajukan tapi saya yang menentukan," kisah SBY yang tidak menyebut siapa ketum parpol yang dimaksudnya.
Itu dilakukan sebab pertanggungjawaban terhadap rakyat ada di tangan presiden. Jika rakyat marah dan tidak suka, maka presidenlah yang harus menanggungnya.
"Kalau performance menteri jelek, tanggung jawab ada di presiden, bukan di ketum parpol. Saya tanggung jawab, no regret. Karena itu sesuai undang-undang dan sistemik. I was assisted by lembaga yang melekat dengan presiden, Sesneg dan Seskab," jelas SBY.
Oleh sebab itu, presiden harus benar-benar membuat keputusan yang tepat. Dengan demikian tidak ada kesalahan yang akan membuat rakyat terluka dan marah.
"Ada istilah presiden can't do no wrong. Pikir dulu sebelum ambil keputusan, pertimbangkan dulu sebelum ambil kebijakan. Jangan begitu saja mengeluarkan statement dan dalam mengambil sikap. Ingat, you can't do no wrong!" tegas jenderal purnawirawan TNI itu.
SBY memang tidak menyebut secara pasti apakah apa yang dimaksudnya ditujukan untuk Presiden Jokowi. Hanya saja pria asal Pacitan itu sempat melontarkan sindiran.
"Tidak boleh presiden sudah meresmikan proyek, lalu menterinya (bilang) 'saya kan belum izinkan'. Tidak boleh memalukan presiden," tutup SBY disambut tawa peserta pelatihan.
Saran tersebut disampaikan SBY saat mengisi kelas Pelatihan Kader Partai Demokrat (PD) di Novotel Hotel, Bogor, Jumat (1/4/2016). Dalam materi dengan tema 'Tugas dan Fungsi Lembaga Kepresidenan', Ketum PD itu awalnya bercerita tentang pengalamannya membentuk kabinet pemerintahaan ketika menjabat sebagai presiden.
"Memilih menteri harus pas. Benar waktu pilpres banyak bergabung parpol koalisi. Benar juga ketika terpilih perwakilan parpol untuk menteri bergabung. Tapi keputusan sepenuhnya ada di presiden. Itu konstitusi," ungkap SBY.
SBY menyebut tidak ada salahnya jika ketua umum partai atau pihak tertentu memberi saran tentang siapa-siapa yang tepat mengisi pos menteri tertentu. Meski ada banyak saran, ia menegaskan bahwa keputusan tetap berada di tangan presiden.
"Dalam memilih kerap disebut ada fit and proper test, dulu kita nominasi menteri. Saya ajukan sejumlah pertanyaan, sebelum saya putuskan go atau no go. Termasuk tes kesehatan dan rekam jejak," kata presiden selama 10 tahun ini.
Usai proses itu, pimpinan negara perlu memperhatikan integritas dan keterwakilan kemajemukan ras. Semua disebut SBY harus dilakukan secara sistemik, sesuai konstitusi.
"Presiden harus pilih betul-betul, the right man and the right place. Presiden tidak boleh didikte. Bisa saja ada reshuffle. Tapi betul-betul dengan alasan kuat. Bisa integritas, performance atau kinerja. Bukan publik opini atau karena social media," tuturnya.
Memperhatikan opini publik dan isu di media sosial dikatakan SBY memang tidak ada salahnya. Namun untuk membuat keputusan, menurutnya itu harus dilakukan secara rasional. Bukan karena pengaruh pihak tertentu.
"Sepenuhnya di tangan presiden. Saya dulu pernah berantem dengan ketum parpol karena meminta, 'pak ini saja'. Saya katakan, hanya tentukan jatah sekian. Silakan nama-nama ajukan tapi saya yang menentukan," kisah SBY yang tidak menyebut siapa ketum parpol yang dimaksudnya.
Itu dilakukan sebab pertanggungjawaban terhadap rakyat ada di tangan presiden. Jika rakyat marah dan tidak suka, maka presidenlah yang harus menanggungnya.
"Kalau performance menteri jelek, tanggung jawab ada di presiden, bukan di ketum parpol. Saya tanggung jawab, no regret. Karena itu sesuai undang-undang dan sistemik. I was assisted by lembaga yang melekat dengan presiden, Sesneg dan Seskab," jelas SBY.
Oleh sebab itu, presiden harus benar-benar membuat keputusan yang tepat. Dengan demikian tidak ada kesalahan yang akan membuat rakyat terluka dan marah.
"Ada istilah presiden can't do no wrong. Pikir dulu sebelum ambil keputusan, pertimbangkan dulu sebelum ambil kebijakan. Jangan begitu saja mengeluarkan statement dan dalam mengambil sikap. Ingat, you can't do no wrong!" tegas jenderal purnawirawan TNI itu.
SBY memang tidak menyebut secara pasti apakah apa yang dimaksudnya ditujukan untuk Presiden Jokowi. Hanya saja pria asal Pacitan itu sempat melontarkan sindiran.
"Tidak boleh presiden sudah meresmikan proyek, lalu menterinya (bilang) 'saya kan belum izinkan'. Tidak boleh memalukan presiden," tutup SBY disambut tawa peserta pelatihan.
No comments:
Post a Comment